Rabu, 21 April 2010

PETANI JANGAN DI JADIKAN OBYEK PEMBANGUNAN

Ketahanan Pangan
Membayar Subsidi dengan Pola Ijon

Oleh: Banu Astono

Beberapa hari lalu, Bank Dunia secara tegas memberikan sinyal bahwa cadangan pangan Indonesia dalam titik terendah. Apabila hal ini tidak segera ditangani sejak awal, persoalan pangan di Indonesia akan menjadi masalah yang serius. Untuk itu, pemerintah harus segera menyiapkan strategi khusus yang lebih fokus.

Deputi Bidang Koordinasi Pertanian dan Kehutanan sekaligus Staf Ahli Menko Perekonomian Bidang Penanggulangan Kemiskinan Bayu Krisnamukti tidak menampik informasi itu. Bahkan, kata Bayu, pihaknya sudah memberikan peringatan mengenai kondisi itu sejak Juni 2007.

Pengakuan Bayu sepertinya menggugah kita semuanya. Seharusnya cadangan pangan di Indonesia tidak terjadi seperti itu. Selama negeri ini masih memiliki matahari, air, dan tanah, pengadaan pangan bukan masalah yang sulit. Bahkan, Indonesia seharusnya menikmati hal yang sebaliknya, yakni menikmati tingginya harga pangan.

Kepala Perwakilan Bank Dunia di Indonesia Joachim von Amsberg dalam situs Bank Dunia memberikan gambaran bahwa Indonesia jauh lebih stabil dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara.

Indonesia diperkirakan hanya akan mengalami dampak krisis pangan lebih singkat serta jauh lebih mampu meningkatkan produktivitas dan melakukan stabilisasi harga sejumlah komoditas tersebut.

Menurut Joachim, negara dengan kekayaan alam seperti Indonesia, kenaikan harga komoditas pangan justru menjadi peluang penting menyiapkan strategi untuk meningkatkan investasi dan mengentaskan rakyat miskin.

Menyiapkan strategi

Melihat tren kenaikan harga pangan yang demikian tajam, Pemerintah Indonesia harus segera menyiapkan strategi khusus yang lebih fokus.

Apalagi tren harga minyak di pasar dunia terus meningkat di atas 130 dollar AS per barrel. Kenaikan ini akan mendorong berbagai negara mengalihkan penggunaan energi fosil ke biofuel.

Brasil, misalnya, selama tahun 2006-2007 mengembangkan budidaya tebu di areal seluas 3,6 juta hektar dari total lahan pertanian seluas 355 juta ha untuk memproduksi 5,019 juta galon metanol.

Amerika Serikat juga menyediakan 10 juta ha lahan dari 270 juta ha lahan pertaniannya untuk tanaman jagung untuk memproduksi 6,498 juta galon etanol.

Dampaknya, stok produk pertanian seperti beras, jagung, kedelai, dan gandum untuk pangan terus menurun. Hal ini memberikan tekanan yang kian kuat pada komoditas beras sebagai alternatif utama untuk pangan di beberapa negara Asia.

Data Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) menunjukkan, bagaimana pertumbuhan produksi dan luas areal pertanian di dunia tetap meningkat, tetapi tidak mampu memperbesar stok pangan dunia. Bahkan, dalam delapan tahun terakhir, volume stok beras dunia terus melorot.

Sebagai gambaran, volume produksi beras dunia dalam lima tahun terakhir terus meningkat. Produksi beras tahun 2003 mencapai 377,8 juta ton naik menjadi 418,1 juta ton pada tahun 2006. Tahun 2007, volumenya melorot jadi 417,1 juta ton, tetapi tahun ini diprediksi naik sedikit menjadi 421,2 juta ton.

Data UNDP menunjukkan, selama 50 tahun terakhir, jumlah penduduk di Asia bertambah hampir tiga kali lipat, yakni dari 1,4 miliar jiwa menjadi 4 miliar jiwa. Akibatnya, konsumsi beras meningkat tajam.

Dampaknya, stok beras dunia dalam delapan tahun terakhir melorot tajam. Tahun 2001, stok beras dunia masih 147,3 juta ton. Tahun 2005, stok beras melorot jadi 74,9 juta ton. Tahun 2007, stoknya jadi 76,3 juta ton. Estimasinya stok dunia pada tahun ini turun lagi jadi 74,1 juta ton.

Kondisi Indonesia

Bagaimana dengan Indonesia? Negeri ini akan menghadapi persoalan pelik jika tidak menyiapkan program komprehensif dalam peningkatan produktivitas pangan nasional. Sampai sekarang, Indonesia tidak memiliki visi yang jelas dalam program pertanian.

Hal itu terlihat jelas dari kecilnya nilai subsidi yang diberikan di sektor pertanian. Tidak jelasnya perlindungan pemerintah terhadap petani dalam bentuk subsidi biaya produksi serta tidak adanya perbaikan sarana dan prasarana pertanian yang memadai.

Bandingkan dengan China. Keberpihakan Pemerintah China terhadap petaninya begitu besar. Pemerintah negeri ini sadar betul harus berpihak kepada petani demi keamanan pangan bagi 1,2 juta miliar penduduknya.

Untuk itu, Pemerintah China memberikan subsidi Rp 3 juta per ha setiap petani tanaman pangan per musim.

Selain itu, Pemerintah China juga melakukan proteksi ketersediaan pupuk di dalam negeri dengan menaikkan pajak ekspor berbagai produk pupuk sebesar 100-135 persen. Dengan demikian, harga pupuk di China menjadi murah.

Sementara di Indonesia perlindungan terhadap sektor pertanian setengah hati. Pemerintah hanya memberikan subsidi pupuk. Nilainya pun hanya Rp 6,7 triliun meskipun ada rencana untuk menaikkannya menjadi Rp 14 triliun dalam APBN Perubahan 2008, tetapi tetap saja nilainya jauh dari memadai.

Hasilnya pun bisa dirasakan sampai saat ini. Sektor pertanian tak pernah bertumbuh dengan baik. Produktivitas berasnya pun terendah dari seluruh negara produsen beras di Asia.

Menurut data Asosiasi Pupuk Dunia (IFA), tingkat produktivitas beras China mencapai 4,29 ton per ha, Banglades 3,7 juta ton per ha, India 3,28 ton per ha, sementara Indonesia hanya 2,88 ton per ha.

Jika Pemerintah Indonesia ingin mengamankan stok pangan nasional, mengisi pasar dunia dalam kaitan merebut momentum kenaikan harga komoditas pangan, berbagai prasyarat harus dipenuhi, di antaranya meningkatkan produktivitas beras dari 2,88 ton per ha menjadi 3,5 ton per ha.

Untuk itu, pemerintah harus melakukan program agar petani bisa mendapatkan benih unggul yang tepat, alokasi subsidi pupuk yang cukup, infrastruktur pengairan dan pestisida yang baik, kawalan bimbingan penanaman oleh penyuluh pertanian, serta insentif bagi petani tanaman padi.

Katakan asumsinya untuk pengadaan benih unggul Rp 5 triliun. Susbidi pupuk dinaikkan satu setengah kali menjadi Rp 21 triliun, tenaga penyuluh pertanian sebanyak 5 orang per kabupaten per orang Rp 2 juta, maka totalnya mencapai sekitar Rp 250 miliar.

Insentif pertanian sebesar Rp 1 juta untuk per ha kali 12 juta ha, maka totalnya Rp 12 triliun. Total dana yang dikeluarkan hanya Rp 38,25 triliun.

Namun, dengan stimulan itu lahan meningkat 0,7 ton per ha atau sekitar 8,4 juta ton beras dari lahan seluas 12 juta ha. Katakan nilai beras di pasar dunia mencapai 1.000 dollar per ton, devisa yang bisa diraup sebesar 8,4 miliar dollar AS atau sekitar Rp 75,6 triliun.

Berarti ada surplus 37,35 dollar AS. Artinya, jika mengacu pada pola ijon petani, uang dalam bentuk subsidi yang dikeluarkan oleh pemerintah kepada petani pada akhirnya bisa dibayar kembali dengan nilai yang jauh lebih besar. Keuntungan lainnya, tidak perlu impor, penghasilan petani meningkat, dan devisa negara justru bertambah.

Kenapa pemerintah tidak menempuh jalan ini. Kalaupun tidak saat ini, paling tidak bisa dimulai oleh presiden terpilih mendatang yang lebih berpihak kepada petani.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/06/13/01092634/membayar.subsidi.denga

Banu Astono
Kompas